Friday 8 September 2017

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 10

Chapter 10: Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini

Aku tak melihat sosok Zhonghua lagi sejak hari itu. Kelihatannya dia benar-benar marah padaku. Atau mungkin lebih tepatnya dia memang tidak pernah menyukaiku di kehidupan kali ini.
Chang’an masih terlalu kecil sehingga informasi yang aku dapatkan dari mulutnya sangat minim. Namun demikian pun, dia memberikanku jawaban dari pertanyaanku yang paling besar – guru Zhonghua adalah seorang perempuan.

Perempuan.

Setelah mengetahui hal ini, rasanya aku seperti dikhianati. Jelas-jelas dulu dia bilang hanya aku yang bisa merayunya. Aku sudah merayunya dengan segenap kemampuanku, tapi dia ...

Aku kesal sekali sampai-sampai aku tidak mau lagi menghampiri tepian mantra pelindung dan berhenti berteriak memanggil namanya.

Keadaan ini berlanjut sampai suatu hari langit di atas gunung Liubo tertutupi awan gelap dan kekuatan gelap begitu lekat menyelimuti sampai membuatku terjaga. Aku tau pasti Hu’yi sedang menyerang gunung Liubo.

Chang’an tidak bisa diam dan gelisah seperti seekor semut yang merayap diatas bara, meratap bahwa dia akan hidup dan mati bersama gunung Liubo. Merasa terganggu dengan ocehannya, aku membuatnya pingsan dan mengurungnya di dalam rumah. Segera setelah aku memeriksa sekeliling, suara pertempuran terdengar dari sisi lain.

Tarik nafas , manusia sungguh aneh. Kalau mereka ingin saling membunuh, lakukan saja. Mengapa pula mereka harus menyiksa telingaku dengan teriakan-teriakan mereka? Mereka berteriak seolah-olah dengan berteriak mereka bisa membunuh lawannya di tempat.

Suara dentuman keras terdengar dan menyusul mantra pelindung luruh seperti debu. Sesosok tubuh melayang di udara – jubah hitamnya melambai-lambai dan rambutnya yang panjang tergerai. Hu’yi. Dia melemparkan pandangan ke seluruh hutan plum. Ketika dia menemukanku, dia mendarat dan berkata, “Aku tak suka berhutang budi kepada seseorang. Kau telah membebaskanku, sekarang aku akan membebaskanmu. Kita impas sekarang.”

Tarik nafas 2 x. Dia reinkarnasi pendeta agung di kehidupan yang lalu, tak diragukan lagi. Caranya memandang orang  lain terlihat sama.

Baru saja aku akan membuka mulutku untuk bilang bahwa aku tak akan pergi, sebuah suara bernada dingin terdengar dari arah belakang: “Kalian berdua jangan bermimpi untuk bisa meninggalkan gunung Liubo!”

Aku membalikkan badan. Zhonghua menghunuskan pedangnya ke arah Hu’yi, wajahnya sinis: “Dua puluh tahun yang lalu aku telah mengampuni hidupmu, tapi kau masih berani menyerang gunung Liubo! Aku pasti akan mengkahiri hidupmu hari ini.”

Aku menatap ekspresi wajahnya dan perasaan tidak nyaman melingkupi hatiku. Aku mundur dua langkah dan berlindung dibelakang Hu’yi, mengalihkan pandangan dari Zhonghua.

Hu’yi menatap Zhonghua dengan cemoohan tersungging dibibirnya. “Aku tak perlu ampunanmu. Kau bisa dengan mudah membunuhku karena kau adalah yang paling hebat. Tapi apakah murid-murid Liubo yang lain mampu bertahan dari serangan para monster diluar sana? Apakah semua orang yang mencari keabadian sekuat dirimu?”

Nafsu membunuh di wajah Zhonghua semakin pekat.

Hu’yi bicara lagi: “Zhonghua, kalau kau bisa berjanji satu hal padaku, aku berjanji akan membebaskan Liubo dari serangan para iblis tanpa melukai satu nyawa pun. Diluar itu, aku serahkan hidupku padamu, lakukan apa pun yang kau suka.”

Bahkan aku pun terkejut mendengar kata-katanya, terlebih Zhonghua. Dia mengerahkan segala kemampuannya untuk menyerang Liubo hanya untuk menjadikan dirinya tumbal? Sesaat, aku semakin penasaran.

Zhonghua terdiam beberapa saat. “Apa yang kau mau?”

“Bebaskan dia agar dia bisa bereinkarnasi.” Melalui suaranya yang tercekat, terasa  amarah yang coba di Bebaskanla dia!”

Setelah mendengar permintaan Hu’yi, wajah Zhonghua semakin kelam. “Itu tidak mungkin.”
Hu’yi menjadi murka. “ Biarpun begitu, dia pernah menjadi gurumu. Dia telah mendidikmu dan membesarkanmu! Kalian telah emmenjarakannya selama dua puluh tahun. Kalau hal ini dibiarkan terus berlanjut, dia akan musnah! Zhonghua, apakah hatimu sekeras baja?”

Aku mengangkat alis dan melemparkan tatapan bertanya kepada Zhonghua, namun yang aku lihat hanyalah wajah tanpa ekspresi. “Dia jatuh cinta kepada iblis dan mengkhianati Liubo, menyeret kami kepada penderitaan. Menurut hukum kami yang berlaku, dia harus dihukum dan jiwanya harus dikurung.”

Jiwanya dikurung. Itu artinya ruhnya dipenjara hingga malaikat maut tidak bisa menjemputnya untuk pergi ke akhirat, ditahan di dunia manusia sampai ruhnya tidak meninggalkan apa-apa. Untuk sesosok ruh, dipenjara di dunia manusia adalah hukuman yang sangat kejam. Karena sekali ruh menguap, maka ia tidak akan bisa lahir kembali. Begitupun, sihir ini Cuma sihir biasa bila dibandingkan dengan sihir di dunia kahirat. Karena yang ada di alam akhirat cuma ruh atau entitas jiwa. Malaikat maut terbiasa menggunakan mantra sihir ini untuk menghukum ruh dan jiwa yang berdosa sebelum membawa mereka menemui Yanwang.

Awalnya aku kira sihir ini cuma ada di alam akhirat, tak ku duga ternyata sihir ini telah di wariskan dari generasi ke generasi di gunung Liubo.

Dua puluh tahun. Waktu yang cukup untuk membuat ruh luruh menjadi debu ...
Hu’yi mengepalkan tangannya.

Aku merenung untuk beberapa saat. Menurutku tindakan yang tidak pantas mengurung ruh mahkluk hidup. Kalau dilihat, Zhonghua membenci Hu’yi dan Hu’yi juga membenci Zhonghua. Mungkin ini yang disebut ‘bertemu melalui kesengsaraan’. Pada titik ini, bila ia tidak membiarkan Hu’yi membebaskan ruh tersebut, dan bila jangka waktu reinkarnasi ruh itu telah berlalu, maka Zhonghua pasti akan dihantam halilintar 36 kali. Dengan sosoknya sebagai manusia yang terdiri dari daging dan darah, aku takut dia tidak akan bertahan pada hantaman yang pertama.

Sampai pada kesimpulan ini, aku menepuk bahu Hu’yi; “Ruh seperti apa yang kita bicarakan? Kau tau dimana mereka mengurungnya?”

Hu’yi membalikkan tubuhnya menghadapku. Mata Zhonghua juga tertuju kepadaku sambil menekankan: “Aku sarankan kau untuk ikut campur dalam masalah yang tidak ada sangkut pautnya denganmu.”

Aku menerucutkan bibirku, dalam hatiku aku berpikir bahwa reinkarnasi Moxi kali ini benar-benar menyebalkan. Tapi aku tak bisa membiarkannya gagal dalam ujian hidupnya hanya karena dia tidak menyenangkan di kehidupan kali ini. Kalau dia dihantam halilintar saat ini, siapa lagi yang akan aku rayu di kehidupan yang akan datang?!

“Dimana dia?” aku bertanya kepada Hu’yi.

Mata Hu’yi bersinar. Dia menyaksikanku merubuhkan pagoda dengan satu tarikan nafas. Terlalu putus asa untuk meragukanku, dia menunjuk ke sebuah menara tidak jauh dari sini dan berkata, “Di puncak menara. Tapi dia masih butuh bantuan seseorang untuk membebaskan dirinya ...”
Pagoda seribu gembok, puncak menara, apakah mereka dimaksudkan untuk tidak pernah bertemu di kehidupan ini ...? Hal ini agak terlalu kejam. Aku menepuk bahunya dan meyakinkannya untuk tenang, dan aku melirik ekspresi Zhonghua yang penuh nafsu membunuh. “Tahan dia.” Perkelahian mulai terdengar dibelakangku. Aku mengabaikan mereka, hanya berharap Hu’yi bisa mengulur waktu.

Aku lahir di alam akhirat. Meskipun aku bukan hantu pembawa pesan, aku terlahir dengan pengetahuan tentang bagaimana mengawal ruh ... meskipun tidak secara profesional.
Setelah memanjat menara, aku melihat sebuah arca peringatan mengambang diudara. Tidak ada tulisan yang tertera diatasnya, namun kondisinya sangat bersih. Jelas sekali ada seseorang yang senantiasa membersihkannya.

Aku memerhatikan sekeliling tanpa bisa menemukan dimana ruh guru Zhonghua dikurung. Selagi aku menggaruk kepalaku dengan bingung, sesaat aku menangkap seberkas cahaya turun dari atas, aku melihat sumber cahaya dan melihat sebuah lilin tergantung di atap menara. Diatasnya terdapat sebuah lukisan – lukisan wajah seseorang, sepertinya.

Aku melompat menuju atap dan dengan seksama memerhatikan lukisan itu.

Lukisan itu menggambarkan punggung sesosok wanita berpakaian putih. Caranya mengenakan pakaian mirip sekali dengan cara murd-murid gunung Liubo berpakaian. Wanita itu menggenggam sebatang ranting plum dan tubuhnya sedikit membungkuk, seolah sedang menghirup wangi bunga.
Hatiku terkesiap.

Kalau aku tidak melihat tulisan dipojok lukisan, aku pasti berpikir lukisan ini pastilah lukisan yang Moxi lukis untukku dulu dan hingga hari ini masih bertahan. “Dilukis pada tahun ke-sepuluh Zhengwu, di paviliun Shili, Gunung Liubo.”

Menghubungkan segala hal yang telah terjadi, tidak sulit memastikan bahwa wanita dalam lukisan ini adalah guru Zhonghua.

Aku hampir tak percaya guru Zhonghua sangat mirip denganku ... oleh karena itu perasaan dikhianati yang tadinya aku rasakan dengan cepat sirna.

Kalau lukisannya ada disini, maka ... aku baru akan menggapai untuk menyentuh lukisan itu ketika seberkas cahaya keemasan berpendar dan mendorongku ke belakang.
Mantra pelindung.

Jiwa perempuan itu pastilah terkurung disini. Aku memusatkan kekuatan sihirku ditelapak tangan dan menghantam mantra pelindung. Cahaya keemasan mengerjap dua kali sebelum sirna. Dengan perasaan senang aku menurunkan lukisan itu. Tepat seperti yang kuharapkan, segumpal benda berwarna putih terdapat didalamnya.

Aku sudah melihat berbagai macam jiwa. Kalau terlambat beberapa hari saja, jiwa ini pasti sudah musnah sepenuhnya. Aku merapalkan mantra yang dengan mudah membebaskan jiwa yang terkurunng di dalamnya. Aku meletakkan jiwa perempuan itu ditelapak tanganku dan dengan lembut meniupkan mantra agar jiwanya tidak sirna ketika dalam perjalan ke alam akhirat.

Aku melompat ke puncak menara dan melepaskan jiwanya ke udara. Dia tidak beranjak. Jiwa itu mengambang di udara seolah dia mencoba bertahan di Liubo sebisanya.

“Pergilah,” aku memberitahunya. “Semua yang terjadi di kehidupan ini sudah menjadi masa lalu. Meskipun sulit untuk merelakannya, kau tidak bisa kembali.” Aku berpikir untuk beberapa saat dan berkata, “Hantu di alam akhirat cukup baik hati. Bilang kepada mereka kalau kau kenal dengan Sansheng. Mereka mungkin bisa membawamu masuk dari pintu belakang.”

Jiwa itu bimbang untuk beberapa saat, dan perlahan turun ke bawah. Aku menatapnya selagi jiwa itu melayang menuju kediaman Zhonghua.

Pemandangannya indah sekali dari sini. Aku melihat di kejauhan dimana Zhonghua sedang bertempur melawan Hu’yi. Hu’yi kelihatan sekali kewalahan, namun bila dia benar-benar putus ada, maka Zhonghua tidak akan menang dengan mudah. Melihat situasinya semakin sulit, Zhonghua menghunuskan pedangnya.

Hu’yi hendak mengelak, namun tiba-tiba, dia bergetar hebat dan tidak menghindari hunusan pedang Zhonghua, membiarkan ujung pedang menghunjam tepat dijantungnya dan tembus sampai ke belakang tubuhnya.

Aku rasa aku tau apa yang dia lihat. Aku juga tau dia pasti tersenyum.

Aku melambai kearah dua jiwa, mengirimkan mereka untuk melalui tahapan reinkarnasi. Berdua, mereka mungkin bisa menikmati rumpun amarilis dan mungkin akan mengukir nama mereka di atas batu Sansheng.

Dari puncak menara, aku berdiri menatap kepergian mereka. Ketika aku mengalihkan pandangan, aku merasakan sorot mata tajam. Di kejauhan, Zhonghua menatap dengan bengis. Aku langsung teringat kalimat pertama yang ia ucapkan kepadaku ketika pertama kali kami bertemu di kehidupan ini: “Kalau kau bukan manusia, maka kau jelas berbeda.”

Kalau aku pikir-pikir, jalan pikiranku memang sedikit ‘berbeda’ dari cara dia berpikir di kehidupan yang lalu. Pertama, aku meruntuhkan pagoda dan membebaskan iblis Hu’yi, menyebabkan serangan kaum iblis ke gunung Liubo.  Sekarang, aku membebaskan gurunya dan memungkinkan guru yang dia cintai untuk bereinkarnasi bersama Hu’yi.

Yang Agung Zhonghua pasti sangat membenciku!

Kala aku melemparkan seulas senyuman kepadanya, tak sengaja aku melihat sekelebat bayangan iblis ular menyelinap melalui celah pintu kabin tak jauh dari hutan plum. Hatiku menciut ketakutan. Chang’an ada di dalam!

Tanpa berpikir panjang, aku melompat dan menerjang ke dalam kabin. Di ambang pintu, aku melihat Chang’an memberontak di atas tempat tidur. Di ujung mulutnya tampak ekor ular berwarna kuning, berayun menyeramkan.

Iblis ular jenis ini menyukai bagian perut anak kecil. Mereka akan berubah wujud ke bentuk asalnya dan masuk melalui mulut anak-anak sampai mereka memakan habis semua bagian dalam si anak.
Aku melangkah maju, memegangi Chang’an, dan menopang lehernya dengan satu tangan dan satu tangan lagi menarik ekor ular. Aku menyerang ular dengan mantra dan membunuhnya selagi dia masih di dalam perut Chang’an, dan dengan perlahan menarik ular itu keluar dari dulut Chang’an.
Tanpa peringatan, perasaan dingin merayap dipunggungku selagi aku mendengar desingan benda robek dikulitku.

Aku melirik ke bagian bawah tubuhku dan melihat sehunus pedang menembus perutku. Rasa sakit belum lagi sampai ke otakku. Siapa yang ingin membunuhku? Dengan penasaran aku ingin mencari tau.

Aku menoleh ke belakang. Zhonghua sedang menatapku dengan ekspresi mengancam: “Aku tak akan membiarkanmu menyentuh orang-orang Liu ... “ ditengah-tengah kalimat, pupil matanya mengecil dan menatap seekor ular berwarna kuning ditanganku.

Kesunyian yang menyiksa melingkupi seisi ruangan. Hanya suara Chang’an yang sedang muntah terdengar. Tak lama kemudian dia pingsan.

“Dia mirip sekali denganmu di kehidupan yang lalu dan aku tak sampai hati untuk ...” Tubuhku melorot ke lantai; ditenggorokan terasa sedikit aroma manis yang kental. “Aku bukan iblis.”
Kalau pedang ini cuma buatan manusia, maka aku pasti tidak akan merasakan apa-apa meskipun pedang ini menembus tubuhku beberapa kali. Sayangnya, pedang Zhonghua adalah pedang wasiat yang sudah turun temurun diwariskan dari kaum tetua. Untuk ruh yang berasal dari alam akhirat seperti aku, bisa dibilang pedang ini adalah musuh terbesarku.

Aku merasakan tubuhku mulai meyerah, aku mencengkeram ujung jubahnya. Aku tersenyum: “Tahukah kau? Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini.”

Terdiam, dia tidak bereaksi apa-apa.

“Namun hari itu ... hatiku hancur saat kau memanggil gurumu ketika kau tidur dipangkuanku ...”
Akhirnya rasa sakit datang, bukan hanya sakit karena luka yang ku alami, namun juga sakit karena pertempuran antara kekuatan hitam dan kekuatan pedang di dalah tubuhku. Dengan erat aku mencengkeram ujung jubahnya. Terlihat dia terkaget dan memperoleh kembali kesadarannya, dia menggendongku dan berlari keluar. “Ada obat di balai utama.”

Mungkin hanya khayalanku, namun aku merasa bahwa tubuh orang yang menggendongku goyah tidak seperti dirinya yang biasa.

Mengapa pria ini penuh pertentangan?

Pandanganku semakin kabur.

Setelah mantra pelindung luruh, salju di hutan plum mencair dan dedaunan juga layu, meninggalkan pekarangan yang gersang.

Aku melirik wajahnya dan memaksakan seulas senyuman. “Apakah kau tau mengapa aku menyukai bau dan putihnya salju?” Aku menggumam; bahkan aku tak bisa mendengar suaraku lagi. Namun dia berhenti dan menatapku, emosi di matanya tampak berkecamuk.

Pada saat itu, aku hampir berpikir bahwa dia telah terlepas dari mantra si Tua Meng dan ingatan tentang masa lalu kami kembali ke pikirannya. Kemudian, aku tenggelam ke dalam kegelapan dan melihat teman-teman lamaku lagi.

Aku dengar suaraku untuk yang terakhir kali: “Maukah kau menyebut namaku untuk sekali saja?”
Dia tetap diam.

Jadi pada akhirnya dia bahkan tidak tau namaku kali ini ...


___________________________________________________________

At the beginning, life is never easy nor it hard.
at times comes the easy, at the other time comes the hard part
sigh ....
all we can do is just keep moving on and believe there will be sunshine and rainbow ahead!!!
keep optimist!!!

___________________________________________________________


Thursday 7 September 2017

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 9

Chapter 9 : Apakah kita saling kenal?

Bersembunyi dalam kegelapan malam, aku mendengarkan pembicaraan mereka sambil berjongkok dibalik sebatang pohon plum.

“Senior!” suara biarawati itu terdengar mendesak. “Iblis serigala akan segera menyerang. Mengapa kau membiarkan iblis perempuan tinggal disini? Apakah tidak sebaiknya kita segera menghabisinya sesegera mungkin?”

Aku mendesah. Sudah ribuan kali aku bilang. Memang benar, asal-usulku tidak jelas, namun aku bukan monster! Aku bahkan sudah meluluh-lantakkan pagoda seribu gembok, apakah identitasku belum jelas juga?! Oh, bodoh! Manusia memang idiot!

Meskipun aku masih saja menggerutu, aku melihat Zhonghua mulai memberikan reaksi. “Kita bicarakan ini lain hari.” Suaranya terdengar serak dan lemah, seperti orang yang terlalu banyak minum.

Dia mabuk.

Biarawati itu tidak mau mengalah. “Senior, jangan bilang kau mulai peduli kepada iblis perempuan itu karena penampilannya yang rentan.”

Zhonghua tampak marah. Dia mengibaskan lengannya dan berkata dengan nada keras: “ Omong kosong apa yang kau ucapkan?!”

“Mari berharap aku cuma bicara omong kosong.” Dengan nada acuh dia berkata: “Senior, aku yakin kau belum lupa. Dari awal, karena guru juga berhati lembut ketika dia menerima iblis serigala Hu’yi disini. Hal itu menyebabkan keberadaan gunung Liubo terancam dua puluh tahun yang lalu. Qingling berdoa agar kau tidak mengulang kesalahan guru.”

Setelah diam beberapa saat, Zhonghua menggerakkan tangannya dan berkata: “Pergilah.”

Aku mengerucutkan bibir dan berpikir. Dari kata-kata biarawati itu, iblis serigala bernama Hu’yi mungkin sosok yang tidak setia yang membalas kebaikan dengan pengkhianatan. Berdasarkan pengalaman yang aku peroleh selama berdiam di sungai Wangchuan, menurutku kejadiannya tidaklah demikian.

Kisah dua puluh tahun lalu mungkin saja tidak sepenuhnya benar.

Setelah baiarawati bernama Qingling berlalu, Zhonghua tetap berdiri diam dibawah bayang-bayang malam sambil bersandar di dinding dan perlahan berjalan kembali masuk ke kamarnya.

Aku menarik nafas panjang sambil memerhatikan bayangannya yang terlihat kesepian.

Di masa lalu, ketika Moxi bersedih, aku selalu berada disisinya melindunginya dan turut meringankan penderitaannya. Aku tak pernah membiarkannya menderita atau terluka. Namun sekarang dia sudah menjadi tuan agung Zhonghua, dia tidak memiliki seorang teman pun untuk mendampinginya ketika dia mabuk. Keadaannya tidak lebih nyaman dari Chang’an yang sekarang pasti sudah terlelap dikamarku.

“Siapa disana?” tanyanya dengan nada curiga.

Aku mengerjap beberapa kali, ayu yakin dia pasti hidup sangat kesepian sampai-sampai suara desahan nafasku yang pelan pun tak lepas dari pendengarannya. Kalau desahan nafasku yang lembut saja bisa dia dengar meski dalam keadaan mabuk, kewaspadaannya disaat normal pastilah sangat luar biasa.

Mendengar tidak ada jawaba, Zhonghua menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekat. Aku tau aku tidak bisa sembunyi lagi, terang-terangan aku menampakkan diri dan memberikan salam dengan menyunggingkan seulas senyum. “Oh! Selamat malam!”

Ketika dia melihatku, alisnya bertaut dan segera berbalik pergi, seolah-olah dia melihat sesuatu yang sangat menjijikkan. Dia berjalan dengan langkah lebar, tak lagi sempoyongan seperti sebelumnya.
Aku terdiam membeku beberapa saat, menjadi sangat marah. Apa aku begitu menyeramkan hingga kau harus berlari menjauh dariku seperti itu?

“Berhenti!” teriakku.

Langkahnya semakin cepat. Hanya perlu dua langkah lagi sebelum dia menghilang.

Amarahku memuncak. Mau bersembunyi dariku? Aku mau lihat bagaimana kau menghindariku!
Aku berlari kembali kegubuk jelekku dan menyeret Chang’an yang sudah lelap tidur dari balik selimutnya. Dia mengerjap kebingungan. Aku menyeringai lebar. “Chang’an, bisakah kau membantuku?”

Seketika ia terjaga. Membeku beberapa saat, lalu menjerit ketakutan, dengan panik ia menggulung tubuhnya dan berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut agar aku tak bisa meraihnya.
Dengan garang aku menarik kerah bajunya dan membawanya kejarak terdekat dengan ruang tidur Zhonghua. Menepuk wajahnya yang penuh air mata, aku memintanya untuk menangis :”Menangis, menangislah sekuat yang kau bisa!”

Dia menatapku dengan keheranan.

Aku memberikannya senyuman yang sangat manis. “Meskipun  yang kau bisa!”

Dia menatapku dengan keheranan.

Aku memberikannya senyuman yang sangat manis. “Meskipun yang  yang dalam dirimu masih lemah sekali, masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Dan meskipun hatiku sudah kuberikan pada Zhonghua, cukup sulit bagiku untuk mengendalikan keinginanku saat aku melihat bocah setampan dirimu. Apakah kau mau memuaskan hatiku?”

Chang’an ketakutan setengah mati, seolah-olah baru saja disambar petir.

Aku sudah menduganya. Di tengah malam gelap gulita, seorang perempuan tak dikenal menghambur masuk ke kamar, menculik dan berkata akan memakannya. Orang waras manapun pasti akan terkejut. Aku memberikannya waktu untuk mengatasi keterkejutannya, setelah beberapa lama, dengan puas aku mendengar jeritannya yang memekakkan telinga.

“Tidak!” Ketakutan, dia merangkak tubuhnya ke tepi barikade magis dan menggedor-gedornya dengan tangannya sambil berteriak: “Selamatkan aku, yang agung Zhonghua! Selamatkan aku! Chang’an masih sangat muda! Chang’an tidak mau mati!”

Dia meratap dan meratap. Zhonghua akhirnya muncul sambil memegangi kepalanya dan wajah yang menahan amarah. Dengan kesal dia menatap Chang’an kemudian menggerutu: “Bagus untukmu!”
Kalau kalian berada di posisi Zhonghua dan bertanya mengapa aku melakukan ini, jawabanku adalah kalau kalian melihatku dan langsung melarikan diri begitu melihatku maka kondisinya akan jauh lebih buruk.

Aku tersenyum sinis dan menendang bokong Chang’an sampai dia terjerembab. “Baiklah, karena Zhonghua-mu sudah disini menggantikanmu, aku akan mengampunimu kali ini. Pergilah kembali tidur.”

Chang’an melongok ke Zhonghua, dan kembali menatapku. Melihat situasi yang janggal antara kami berdua, dia merangkak bangkit dan berlari tanpa menoleh lagi.

Aku menatap Zhonghua, tersenyum dengan jahil. Dia menggosok dahinya, menutup matanya dan tak membalas tatapanku. “Ada apa?”

“Tak ada apa-apa.”

Pembuluh darah dibalik tangannya menonjol. Dia tak mengatakan apa-apa dan berbalik untuk pergi.
Sebelum dia berjalan keluar dari barikade magis, aku segera meraih ujung jubahnya. Mungkin karena dia masih dalam keadaan mabuk, dia tidak setangguh biasanya hingga aku mampu mencegatnya. “Mengapa kau bersembunyi dariku? Aku bukannya ingin memakanmu.”

“Mengapa aku harus bersembunyi? Katanya. “Kau tahanan gunung Liubo....”

“Tepat sekali, aku lah tahanannya. Kalau ada yang harus bersembunyi, tentunya akulah yang harus bersembunyi darimu. Mengapa kau melakukan ini? Apakah aku mengeluarkan asap atau ada rambut diwajahku? Apakah akan ada belatung yang menempel dimatamu bila kau melihatku? Apakah kau akan muntah atau akan diare bila melihatku? Apakah kau akan mengeluarkan darah sampai mati? Apakah kau a.....”

Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, dia menarik nafas yang panjang dan dalam, berbalik dan menatapku. Tatapannya biasa dan tulus. Namun aku tak semudah itu diyakinkan.

Aku melihat bola matanya yang bening dan kilauan bintang gemintang, salju putih dan wangi hutan plum, dan aku.

Semuanya tercetak jelas dimatanya.

Sudah lama sekali aku tidak melihatnya menatapku dengan intens seperti ini. Aku tak bisa menahan diriku dan ingin bersandar ke tubuhnya. Aku melepaskan genggaman tanganku dibajunya dan mengenggam tangannya.

Aku melihat diriku tersenyum dimatanya. Dia tidak menjauh dariku, tatapannya melunak. Senyumku semakin lebar.

“Dengan aroma salju dan kesunyian ini, dengan adanya dirimu, tak ada lagi yang Sansheng inginkan.”

“Dengan aroma salju dan kesunyian ini, dengan adanya Sansheng, tak ada lagi yang Moxi inginkan.” Kata-kata itu yang biasanya Moxi ucapkan dahulu.

Zhonghua nampak terkejut mendengar kata-kataku. Mengerutkan dahi. Dan kelihatannya meyadari sesuatu., dengan tangkas dia melepaskan dirinya dan mendorongku menjauh, akibatnya, dia jatuh terduduk diatas tumpukan salju. Dia tampak panik.

Aku ingin menghampirinya dan menawarkan pertolongan, namun dia menahanku dengan isyarat tangannya. Memegangi kepalanya, dia tetap duduk diatas tumpukan salju dan merenung.

“Mo... Zhonghua, kau...”

“Apakah kita pernah saling kenal?”
Bagaimana aku harus menjawabnya? Ya, kita saling kenal. Dimana? Di alam akhirat, ditepi sungai Wangchuan... Bila aku menjawab demikian, dia pasti berpikir kalau aku pasti bercanda.

Aku menggaruk kepalaku, dan berkata: “Hemm, kalau kau pikir aku terlihat familiar, pastilah ini takdir. Ya, takdir!”

“Takdir?” dia mencemooh. “Mengapa pula dunia ini punya banyak sekali takdir...?”

Mendengarnya bicara seolah-olah dia sudah melihat segala sesuatu di dunia ini, aku mengerutkan dahiku dan bertanya kepadanya, “Dan mengapa tidak? Pertemuan kita adalah takdir. Berdiri di sini dan saling berbincang juga takdir.” Untuk sebuah batu seperti aku bisa berada di dunia manusia untuk merayumu adalah takdir lain yang luar biasa. Tentu saja, aku tidak mengatakan ini kepadanya.
Dia berdiam diri di atas salju. Dibawah sinar rembulan, dia menatapku dengan serius, dan setelah beberapa lama, dia mengucapkan dua patah kata dengan sinis: “Terkutuklah takdir.”

Aku mengangguk. Takdir yang terkutuk tetap saja takdir. Takdir yang terkutuk bahkan bertahan lebih lama. Aku merasa senang, namun kemudian aku berpikir, ini tidak benar. Dari nada bicaranya, aku mestinya bereaksi sebaliknya. Aku mestinya tidak tersenyum. Lagipula... Aku melirik tubuhnya yang tergeletak di atas salju.

Posisinya tepat sekali bila aku melompat ke atas tubuhnya!

Aku mengacungkan jariku ke arahnya. “K...k ... kau! Kau yang paling menyebalkan!”

Dia menyipitkan matanya, ekspresinya tidak bisa dibaca.

Aku membalikkan tubuhku seolah ingin pergi karena perasaan terluka. Ketika posisiku sudah dekat dengan tubuhnya, aku berteriak: ‘Whoa! Kenapa licin sekali?”

Aku memosisikan tubuhku agar terjatuh dengan anggun diatas tubuhnya. Dengan gerakan yang akurat, mestinya aku jatuh tepat di atas dadanya, menirukan posisi wanita muda pemalu dipelukan pahlawannya.

Yang tak aku sangka adalah aku terjatuh persis seperti saat Zhonghua terpeleset sebelumnya, mendarat di atas tubuhnya dan kepalaku terhantuk kepalanya. Dan sungguh disayangkan, bibirku tidak bertemu dengan bibirnya, malahan terbentur ke dahinya.

Aku hanya mendengar erangan seorang pria dan tidak mengeluarkan reaksi apa-apa.

Saat aku memegangi kepalaku dan berusaha untuk bangkit, Zhonghua berbaring di atas salju dengan kedua mata tertutup. Terdapat dua jejak mengeluarkan dara akibat gigiku didahinya.

“Umm...” Tanpa sadar aku mengulurkan tanganku untuk menyentuh dahinya. “Hey...” Aku menepuk pipinya namun dia tidak bereaksi. Aku sedikit panik. Tak mungkin aku mengirimkannya langsung ke Yanwang, kan? Namun dia belum melalui ujian takdirnya. Akan ada masalah besar kalau begini.

“Zhonghua! Zhonghua! Tidak seburuk itu, kan?” Aku menggaruk kepalaku. Kau, tak peduli apa pun, Yang Agung Zhonghua. Kalau kau benar mati karena perempuan seperti aku, ini, ini ... kalau berita ini didengar orang lain, sungguh memalukan. Dengan segera aku menekan titik acupoint Zhonghua sambil terus bergumam: “Moxi, jangan biarkan aku tertimpa masalah, aku pasti akan dikutuk langit karena telah membunuh seorang Dewa yang sedang dalam masa ujian takdir. Moxi...”

Dengan bercucuran air mata aku terus saja memanggil namanya. Nampaknya dia memahami kesulitanku karena segera dia mengeluarkan erangan dan membuka matanya dengan perlahan. Dengan bahagia aku berulang kali memanjatkan puji syukur kepada Yanwang.

Dengan suara pelan dia memanggilku, “Guru...” sembari menatapku.

Aku membeku, aku mencium bau alkohol dari nafasnya. Aku pikir efek alkohol sudah merasuk ke kepalanya dan dia kehilangan akal sehatnya.

“Guru,” dia menyerukan kata itu lagi, “Mengapa...”

Dia berbicara pelan sekali sampai aku hampir tidak bisa mendengarnya. “Ada apa?” aku mencondongkan tubuhku ke arahnya dan mendekatkan telingaku ke bibirnya dengan hati-hati. Namun, pikiranku menjadi kabur begitu aku mendengar kata-katanya selanjutnya: “Mengapa kau memiliki perasaan seperti itu kepada Hu’yi?” dia bertanya.

Kesampingkan saja perasaan macam apa yang dimiliki oleh guru Zhonghua kepada Hu’yi untuk saat ini. Aku lebih penasaran kepada apakah guru Zhonghua ini laki –laki atau perempuan.

“Apakah gurumu laki-laki atau perempuan? Apakah gurumu jatuh cinta kepada Hu’yi? Sampai sejauh mana hubungan mereka? Apa yang terjadi kepada mereka? Mengapa Hu’ui dikurung di dalam pagoda? Dan dimana gurumu sekarang berada?” aku menanyakan sebanyak mungkin hal yang ingin aku ketahui, dan menanti jawabannya.

Namun kepalanya tergeletak diam, dia tertidur.

Aku mengepalkan tanganku.

Perasaan tidak puas dan penasaranku membuatku ingin sekali mengetuk dua lubang di dahinya. Namun melihat wajahnya yang tertidur dan tampak damai, aku akhirnya hanya bisa menghela nafas dan menyerah, merobek ujung gaunku dan membalut luka di dahinya.

Karena Chang’an tidur di dalam kamar, menyeret masuk gurunya ke dalama kamar rasanya sedikit kasar. Tidak pantas juga untuk melompat ke atas tubuhnya.

Aku menimbang beberapa saat, kemudian memutuskan untuk menyeretnya ke bawah naungan pohon plum dan membiarkannya tertidur dipangkuanku. Dan aku, aku menyandarkan kepalaku ke batang pohon plum, membelai keningnya, menggenggam tangannya, dan terakhir memberikan kecupan dibibirnya, dan aku tertidur dengan sangat lelap yang sudah lama sekali tidak aku rasakan.

Keesokan paginya ketika aku terbangun, aku melihat sepasang mata bening memandangiku dengan serius. Aku tersenyum kepadanya dan memberikan salam: “Selamat pagi Yang Agung! Kau masih disini?”

Dia menutup matanya dan menarik nafas dalam-dalam, terlihat seperti dia berusaha keras menahan diri untuk tetap tenang. Dalam waktu yang cukup lama, dia berkata dengan terpaksa: “Lepaskan ikatanku.”

Aku tertawa canggung, melepaskan ikatan yang menghubungkan lehernya dan kakiku, dan dengan perasaan tidak bersalah berkata: “Kau tak bisa menyalahkanku, aku takut kau akan melarikan diri dariku.”

Tanpa menungguku melepaskan ikatan sepenuhnya, dia membebaskan kakinya dan memelototiku.
Aku pasrah. “Aku tau kau akan segera melarikan diri begitu kau bangun dan pasti akan membantah bahwa kau menghabiskan malam bersamaku. Itulah sebabnya aku merapalkan banyak sekali mantra di tali ikatanmu. Cuma itu bukti yang mengatakan bahwa kau menghabiskan malam bersamaku. Mengikuti hukum yang berlaku di dunia manusia, kau harus bertanggung-jawab, Mo... Zhonghua.”

Setiap kali aku selesai bicara, wajahku akan bertambah suram, dan setelah aku meyelesaikan kalimatku wajahnya malah kelihatan memerah: “Me ... me ... memalu ...”

Dia bahkan terbata bata tak mampu menyelesaikan kata-katanya dan tubuhnya terlihat tegang menahan marah. Aku menarik nafas dan membantunya menyelesaikan kata yang ingin diucapkannya: “memalukan.” Bisa membuat Yang Agung Zhonghua yang berhati dingin seperti es yang membeku kehabisan kata-kata dan murka seperti ini sungguh prestasi yang luar biasa. “Tidak masalah apakah aku tak tau malu ataupun tidak. Zhonghua, kau tetap harus menikahiku.”

Dia menatapku untuk beberapa saat, kelihatannya sudah mulai tenang. Ekspresinya perlahan semakin menyeramkan. “Meskipun aku mabuk, aku ingat jelas apa yang sudah aku lakukan. Kau dan aku bukanlah mahkluk yang sama. Bagaimana mungkin aku melakukan seperti yang kau tuduhkan padaku kepadamu?”

Aku bertanya dengan penasaran, “Jadi kau tak bisa melakukan ‘itu’ kalau kau bukan mahkluk yang sama? Kalau begitu bagaimana dengan gurumu dan Hu’yi?”

Ekspresi Zhonghua langsung membeku. Dia menatapku seolah-olah ingin melumatku menjadi kepingan tak berbentuk. Dia beranjak pergi. Aku batu yang keras kepala. Kalau aku tidak emndapatkan jawaban yang jelas dari pertanyaanku, aku tak akan bisa tidur malam ini. Aku berlari menghampirinya dan berterika: “Hey! Bagaimana dengan gurumu dan Hu’yi? Apa yang terjadi di antara mereka? Gurumu... “

Sekelebat pukulan melewati telingaku, membentur salju dibelakangku dan membuat salju berputar di udara.

Aku membeku diam ditempat.

“Tahan lidahmu.” Dengan kasar dan dingin dia mengucapkan kata-kata itu kepadaku dan berlalu pergi.

Moxi tidak pernah melihatku dengan tatapan seperti itu. Bahkan tatapannya tidak sama dengan ekspresi ketika dia mengirimkan bola api ke kakiku ketika terakhir kali kami bertemu di alam akhirat, dia tidak memandangku dengan ekspresi sedingin ini.

Aku hanya pernah melihat ekspresi ini ketika di kehidupan yang lalu. Saat itu dua orang suruhan yang menerobos rumah kami dan berniat melecehkanku, ekspresinya sama seperti ekspresinya kala itu.

Dia kelihatannya tidak suka mendengar orang lain membicarakan tentang gurunya dan Hu’yi. Mungkin selain asal muasal yang berbeda antara manusia dan iblis, kebenciannya kepada Hu’yi juga lebih berlatar kepada perasaan. Nampaknya dia sangat memedulikan gurunya ...

Perasaannya kepada gurunya mungkin sedikit ... tidak biasa.

Oleh karena itu aku semakin penasaran apakah gurunya laki-laki atau perempuan.

_______________________________________________________

the truth, hari ini melelahkan sekali, dua asisten tak masuk kerja, jadilah kerjaan diborong sendirian. Tapi entah mengapa, masih juga semangat menyelesaikan terjemahan ini, mumpung masih semangat segera lanjutkan, tak ada pekerjaan yang sia-sia bukan?

_______________________________________________________





Monday 4 September 2017

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 8

Chapter 8 : Mungkin benar adanya kalau ini memang ujian cinta

Aku tidak memiliki niat untuk pergi dari gunung Liubo setelah memusnahkan pagoda seribu-gembok. Meskipun aku tidak terlalu suka pada watak Moxi dikehidupan yang sekarang, aku tak sanggup membayangkan dia jatuh ke pelukan orang lain. Paling tidak, aku bertekad untuk melindungi dan membantunya menjaga kemurniannya selama dia hidup.

Namun kaum pendeta tua gunung Liubo tidak tau harus berbuat apa kepadaku. Mereka juga tidak bisa mengurungku atau mengalahkanku. Malam itu, rambut mereka rontok hebat karena stres.
Pada akhirnya, Moxi-ku lah yang memberikan solusi: “Kurung dia di kediamanku. Aku sendiri yang akan mengawasinya.”

Selagi kerumunan bergumam ini itu, aku orang pertama yang menganggukkan kepalaku, yang membuat Moxi membelalakkan matanya kepadaku.

Seketika membayangkan akan tinggal bersama dengan Moxi dikediaman yang sama, dengan senang hati aku menarik semua keluhan yang ada didalam hatiku.

Liubo adalah representasi tanah suci adri kaum beragama. Zhonghua adalah pimpinan kuil Liubo. Secara logika, kediamannya pasti tidak terlalu buruk.

Akan tetapi seketika aku sampai dikediaman Moxi, rasanya aku ingin menangis.

Sebuah hutan pohon plum yang sunyi nampak ganjil dibalik kemegahan gunung Liubo. Saat ini belum masuk musim dingin, namun permukaan hutan dipenuhi dengan salju. Disana, rumpun bunga berwarna merah bermekaran dengan indahnya, menyeruakkan wewangian bermil-mil jauhnya. Segalanya seolah tercipta oleh kekuatan magis.

“Ini ... bunga ini...” Suaraku terdengar agak bergetar.

Orang yang tidak berkepentingan dilarang memasuki kediaman Zhonghua, saat ini, hanya kami berdua yang berada disini. Selagi dia memandang hutan plum, pembawaannya sedikit lebih tenang dan dia menyahut perkataanku dengan lebih ramah: “Beberapa dari sedikit hal yang aku suka.”
Aku mencoba mengenyahkan air mata dipelupuk mataku.

Moxi, Moxi, meskipun kau mabuk karena sup si Tua Meng, kau tidak bisa melupakanwangi bunga ini dan kemurnian salju? Kau masih ingat hutan plum yang damai?

Hutan plum diselimuti kekuatan magis yang diciptakan oleh Zhonghua untuk menjaga kondisinya tetap indah seolah-olah di musim dingin. Masuk ke dalamnya seolah-olah masuk ke dalam tempat khayalan Moxi.

Aku merasa senang biarpun terkurung disini bersamanya.

Melihatku masuk kedalam mantra sihirnya, Moxi tak mengatakan apa-apa dan segera berlalu pergi. Aku menatap punggungnya yang menjauh sambil menyentuh salju yang menutupi buah plum. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, jauh ke masa ketika seorang pendeta yang meng-angguk-anggukkan kepalanya kepadaku mengatakan: “Ujian cinta.”

Mungkin memang benar ini ujian cinta.


Ujian cinta sebuah batu ....

Waktu berlalu tanpa ada kejadian berarti. Tak peduli bagaimanapun indahnya pemandangan, lama-lama aku bosan juga. Aku pikir ada baiknya meminta beberapa buku kepada Moxi untuk menghibur hari-hariku yang membosankan, namun bayangannya pun tak bisa aku temukan berhari-hari. Aku kecewa berat.

Hari demi hari, aku duduk di garis batas kekuatan sihir yang mengurung kediaman Moxi sambil menggambarkan lingkaran-lingkaran kecil diatas tanah sambil menggumamkan nama Moxi. Tentu saja, nama yang aku gumamkan adalah Zhonghua.

Meskipun aku sudah mengerahkan usahaku, dia tak pernah muncul.

Namun ketika aku berhenti memanggil namanya, hanya dalam beberapa hari akhirnya dia muncul juga.

Saat itu, aku sedang belajar seni kuno membuat teh dengan menggunakan salju yang telah mencair. Tentu saja, aku tidak punya teh, jadi aku memotong batang pohon plum dan menggunakan rantinya untuk membuat api untuk merebus bunganya, mencoba untuk melihat apakah bunga-bunga plum bisa jadi bubur.

Sembari aku menimbang-nimbang apakah akan menebang sebatang pohon lagi, Zhonghua tiba dengan tampang tidak setuju.

Aku melambai dengan anggun.

Dengan kasar dia melewatiku dan memandang pohon plum yang sudah tumbang, bertanya: “Apakah kau merebus bunga plum?”

“Tidakkah menurutmu ini kegiatan yang menyenangkan, Yang Agung?”

Dia mencemooh: “.............................

“Baiklah,” aku menunjukkan tampang serius, “ Kita harus lihat jenis kayu apa harpanya dibuat. Kayu yang baik tentunya akan menimbulkan aroma daging yang sedap. Batangnya juga tidak boleh terlalu tua. Kalau tidak, kayunya akan sia-sia.”

Dia menarik nafas panjang dan setelah lebih tenang berkata: “Kau dilarang menyentuh pohon plum dari sekarang.”

“Tidak bisa.” Aku menggelengkan kepalaku merasa benar. Melihat tampangnya yang hampir meledak karena marah, aku menambahkan; “Rasa bosanlah yang membuatku membunuh pohon plum-mu. Kalau aku tidak terlalu bosan, aku tidak akan punya waktu memerhatikan mereka. Aku sudah berdiri berhari-hari memanggilmu namun mengapa kau tidak menjawab panggilanku?”
“Apa yang kau inginkan?”

“Buku. Terbitan terbaru. Dan juga semangka dan teh hijau.”

“Kami tidak melayani tamu disini di gunung Liubo.” Dia berkata sambil berlalu.

“Pohon-pohon ini pasti tidak tumbuh dengan mudah, namun aku kira cukuplah untuk beberapa hari.”
Tubuhnya yang sudah beranjak pergi nampak terhenti sesaat.

Ketika aku bangun pagi di keesokan hari, tumpukan buku tergeletak dilantai.

Aku membuka halaman buku sambil terkikik. Moxi, Moxi, meskipun kau nampak garang namun kau tetap imut!

Hari-hariku berjalan lebih baik dengan ditemani buku-buku. Lagipula, aku sudah menghabiskan banyak waktu sia-sia di dunia akhirat, lebih baik aku disini mendampingi Moxi di antara hutan plum dan salju.

Suatu hari yang cerah, moodku sedang bagus dan memutuskan untuk berjalan-jalan. Aku mn, membawa sebuah buku sambil berjalan perlahan dibawah bayang-bayang hutab sambil menghirup aroma bunga sepanjang jalan.

Rasanya seperti kembali ke masa silam. Ketika aku dengan santai tinggal dirumah. Dan, Moxi kembali dari sekolah. Dia membuka pintu, membiarkan sinar matahari masuk, dan dengan lembut memanggil namaku: “Sansheng.”

Sambil menikmati kenangan indah, aku menutup mataku dan membayangkan Moxi berada disampingku. Dia menyesuaikan langkahnya dengan langkahku, cukup dekat sehingga kapanpun aku ingin bersandar dia ada dalam jangkauanku kapan pun aku mau.

Aku berjalan dan berhenti, berjalan dan berhenti, seolah-olah Moxi berada disana menemani setiap langkahku. Aku membuka mataku. Bunga plum masih berada ditempatnya berselimut salju di depan mataku, namun ketika aku menoleh ke belakang, aku terkejut melihat Moxi berdiri diantara rumpun batang plum, memandangku entah sejak kapan.

Aku tersenyum sambil menahan kata “Moxi” di ujung lidahku sebagai kata ganti “Zhonghua.” 

Mengacuhkan seringai tidak sukanya, aku dengan sumringah berjalan ke arahnya dengan lengan terbuka.

Dia berkelit untuk menghindariku. Aku pikir aku akan memeluk udara kosong karena dia berkelit, namun pada akhirnya aku merasa sesosok tubuh kecil yang bergetar. Aku memandang sosok dalam pelukanku dan cukup terkejut melihat seseorang disana: “Chang’an! Apa yang kau lakukan disini?”
Sosok ini adalah pendeta muda yang berpikir bahwa aku akan menghirup yang darinya untuk memperkaya yin-ku. Dia benar-benar mirip Moxi sehingga aku tak bisa tak menyukainya.

Tak sanggup berkata apa-apa selain mengangguk, dia tidak memberikan jawaban apa-apa kepadaku.
Aku memandang Moxi dengan mata bertanya. Dia menatap galak ke arah Chang’an dan berkata dengan dingin: “Renungi kesalahanmu,” kemudian mengibaskan jubahnya dan berlalu.

Ketika chang’an melihatnya pergi, Chang’an membebaskan dirinya dari dekapanku dan berlari mengejarnya, terjerembab di tanah sambil menangis dan mengeluarkan ingus. “Yang Agung! Yang Agung! Jangan tinggalkan aku sendiri disini! Aku tak mau mati! Aku tak mau mati!”

Aku mengusap keringatku. Apa yang sudah kulakukan sampai pantas menerima semua ini? Ketika kami memukuli pendeta-pendeta kecil tempo hari, bukankah aku tidak menyentuhnya? Namun sekarang anak tidak tau terima kasih ini malah takut padaku?

Moxi mengibaskan lengan bajunya dan membantu Chang’an bangkit. Dengan garang melemparkan pandangan ke arahku, dia berkata: “Satu bulan hukuman sudah cukup ringan mengingat kau sudah berani bertengkar dengan sesama teman sekelasmu sampai membuat temanmu terluka. Hentikan tangisanmu, sungguh memalukan.”

Aku mengedipkan mata dengan cepat, akhirnya paham dengan tujuan Moxi. Mungkin menurutnya, dengan menilik perbuatanku tempo hari Moxi yakin bahwa aku bukanlah iblis yang haus darah. Dengan pertimbangan ini dia yakin membawa Chang’an kesini untuk menjalani hukuman untuk membuatnya takut.

Apa lagi yang bisa aku lakukan kalau begitu?

Moxi mengibaskan jubahnya dan berlalu pergi, meninggalkan Chang’an yang terduduk di tanah sambil menangis tersedu-sedu sampai seluruh tubuhnya berguncang.

Aku mencolek kepalanya. Dia memandangku dengan mata bengkak. Dengan ramah aku tersenyum kepadanya: “Ayo kita bicara.”

Setelah berjuang hampir setengah hari, membujuk dan mengelabui, aku akhirnya paham mengapa ia di kirim kesini.

Bicara soal ini, tentu tak bisa dilepaskan dari kejadian yang menumpa pagoda seribu gembok ketika aku membantu membebaskan iblis serigala. Aku pikir hu’yi akan pergi jauh selepas aku membebaskannya, namun siapa tau dia ternyata iblis yang keras kepala. Bukannya bersembunyi, dia malah mengumpulkan beberapa iblis untuk menyerang gunung Liubo.

Dengan segera ketika rencana para iblis ini tercium maka kuil gunung Liubo tidak akan tinggal diam. Kaum tersohor dari berbagai kuil tesohor segera dikerahkan untuk menghadapi serbuan para iblis.
Dalam situasi seperti inilah kisah Chang’an dimulai. Dikisahkan bahwa para murid gunung Liubo sedang sibuk menyiapkan segala keperluan untuk acara makan malam keesokan harinya. Changwu, yang menderita pukulan dari iblis Hu’yi terakhir kali masih belum bisa bangkit dari tempat tidur. Dia merasa sangat bosan dan ribut mau makan buah-buahan yang dipersiapkan untuk menyambut para tamu. Ketika tak sengaja dia melihat Chang’an sedang melintas membawa buah-buahan, Changwu segera meminta sedikit buah, karena Chang’an anak yang jujur, tentu saja dia menolak. Satu pihak mendesak satu pihak menolak dan pada akhirnya pertengkaran tidak bisa dihindari, dan ketika Chang’an sudah tak bisa menahan diri lebih lama lagi, tak sengaja dia mendorong Changwu.
Karena Changwu masih dalam keadaan cedera, kepalanya terhantuk ujung tempat tidur ketika dia terjatuh. Kejadian ini disaksikan oleh salah satu tetua yang kebetulan melintas. Melihat Changwu yang menangis histeris, tak ada kesempatan bagi Chang’an untuk membela diri ...

Dan begitulah, dia berakhir disini ...

Sedih sekali melihat wajah yang begitu mirip Moxi menangis dengan air mata dan ingus bercucuran. Aku mencoba segala cara untuk membujuknya, bahkan bersumpah untuk membalaskan dendam. Pada akhirnya dia berhenti menangis, dan setelah terisak-isak dalam waktu yang lama, dia bertanya kepadaku, “Kau ... kau ingin membersihkanku, kemudian ... kemudian akan memakanku, kan?”
Aku mengerucutkan bibir. Ingin sekali rasanya aku mencari tau ide apa yang sebenarnya kaum guru tanamkan dikepala anak-anak ini. Aku mencubit pipinya, tersenyum licik. “Tentu saja. Tapi aku Cuma mau makan Tuan Agung-mu. Aku ingin memakannya sampai bersih, sampai dia mati kelelahan!”

“Tuanku, tuanku yang agung ...”

Aku meletakkan tanganku tepat dibahagian jantungku dan berujar dengan segenap hatiku: “Ya benar, kau memang anak yang cukup rupawan, meskipun sayangnya masih terlalu muda. Tuanmu, sebaliknya, sudah lama mencuri hatiku. Hatiku dipenuhi oleh dirinya, pikiranku dipenuhi oleh keagungannya. Aku memikirkan suaranya sebelum tidur, aku teringat wajahnya ketika aku terjaga. Aku merindukannya setengah mati bila aku tak bisa melihatnya, namun ketika aku bertemu dengannya hatiku berkecamuk. Hanya langit yang tau sudah berapa lama hatiku jadi miliknya. Aku sangat mencintainya, dan aku tak tau bagaimana caranya berhenti. Aku hanya ingin dia tau bagaimana rasanya ...”

“Tuanku yang agung.” Chang’an menunjuk ke satu arah.

Aku berbalik, namun yang aku lihat hanya sekelebat jubah berwarna putih di balik pohon plum, membuat tumpukan salju diujung dahan luruh ke tanah. Sosok itu berlalu sangat cepat sampai aku tak menyadari keberadaannya.

Dan begitulah dia menghilang ...

“Apakah itu benar yang agung Zhonghua?”

Chang’an mengangguk, setelah termenung sejenak dia berkata, “Ketika dia pergi, wajahnya merah.”
Tersedak, aku mendesah pelan sambil bergumam: “Moxi, Moxi, bagaimana kau bisa begitu tak berguna dikehidupan kali ini? Yang kulakukan hanya menyatakan cintaku kepadamu ...”

Meskipun malam hari cuaca menjadi dingin, tidak sampai membuat beku menurutku. Dan aku telah lama berada disungai Wangchuan, jadi aku tidak takut dingin. Namun Chang’an berbeda. Tak peduli bagaimanapun berbakatnya dia, dia tetap saja manusia biasa. Aku membentangkan sehelai selimut untuk alas tidurnya di dalam kabin yang kecil, menyalakan api unggun, dan aku bermalam diluar.
Mengapa aku tidur diluar? Sudah jelas kalau anak itu melihatku tidur disampingnya, anak itu tidak akan berani tidur!

Lagipula, aku cuma roh.

Ketika aku terjaga keesokan harinya, aku cukup terkejut melihat Chang’an menyelimutiku dengan sehelai selimut. Melihatku membuka mata, dia kaget, bergetar seperti dedaunan, dan mundur menjauh. Dia berjalan mundur dengan gontai sebelum terjatuh dalam posisi yang aneh. Aku berdiri hendak membantunya bangkit, namun dia terjerembab dan segera berlari.
Uluran tanganku terhenti dan pembuluh darahku menonjol. Aku berusaha menahan kekesalanku namun sulit sekali rasanya. Selagi sumpah serapah akan keluar dari mulutku, tiba-tiba kepalanya muncul dari salah satu sudut dan berkata: “Umm...umm, kau tidur didalam saja malam ini. Diluar sungguh dingin ...”

Aku menatapnya dalam diam sebelum berkata: “Namaku Sansheng.”

Dia mengerjap. Setelah cukup lama dengan hati-hati dia menyebut namaku: “San ... Sansheng.”

Merasa cukup puas, aku mengangguk dan masuk ke dalam rumah untuk mencari buku yang sebelumnya dikirimkan Zonghua beberapa hari lalu, dan bersandar nyama dibatang pohon plum dan membaca dengan santai. Bukunya berkisah tentang sebuah pertemuan, antara sebuah cermin retak yang menemukan kembali pecahannya. Moodku sedang baik, dan semua perhatianku tertuju kepada kisah dalam buku.

Aku mengacuhkan Chang’an dan dia sudah pasti tak berani menggangguku. Hari berlalu dengan damai ... kalau bukan karena acara jamuan makan malam, pastinya.

Dengan ancaman kaum iblis semakin mendekat, jamuan makan malam gunung Liubo untuk mengumpulkan sekte-sekte terkemuka dijadwalkan malam ini akan berlangsung.

Aku menyelesaikan bacaanku ketika malam menjelang. Ketika aku menatap langit, kau melihat gunung Liubo dipenuhi sinar terang. Sangat terang sampai langit juga cemerlang.

Barikade sihir Zhonghua sangat sakti hingga tak ada kesempatan bagiku untuk menyelinap keluar. Selain merayu Moxi, mencuri dengar adalah hobiku. Selama ini aku punya banyak sekali waktu luang dan sudah bosan rasanya berjalan di sekeliling hutan plum. Memutuskan tidak ada kelemahan barikade, aku menyerah dan bersiap-siap untuk tidur.

Seketika, aku melihat dua sosok berjubah putih menyeberang dari pintu belakang kuil. Penasaran, aku melihat lebih dekat. Hey! Bukankah itu Zhonghua dan biarawati yang mereka sebuh ‘guru besar’ ...?

Aku melihat biarawati itu menarik ujung jubah Zhonghua. Gerakannya nampak tergesa namun karena aku tidak bisa melihat wajah Zhonghua, aku tidak tau bagaimana ekspresinya. Gerak-gerik mereka membuat imajinasiku menjadi liar ...

Tanpa sadar aku menggeretakkan gigiku dan mengepalkan tanganku.

Apa yang sedang kalian lakukan?!

_______________________________________________________________________


..... [sigh] ... [sigh] ....[sigh] ..... sorry, sometimes life is just ... well ... begitulah


_______________________________________________________________________

Wednesday 23 August 2017

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 7

Chapter 7 : Pagoda seribu-gembok sudah runtuh

Dalam reinkarnasi kali ini, pendeta agung adalah jelmaan dari seekor iblis serigala bernama Hu’yi.
Meloncat naik dan turun, aku merobek semua kertas mantra yang ada ditubuhnya, dia menatap semua hal yang kulakukan dengan tampang terpana.

“Secara manusiawi ini tidak mungkin?” tanyanya.

Aku memainkan rambutku, melambaikan tanganku untuk membebaskan borgol ditubuhnya, dan sambil tergelak aku menjawab: “Oh, bisa dibilang aku kan bukan manusia.”

Borgol ditubuhnya putus dalam beberapa bagian dan jatuh dilantai pagoda. Hu’yi mengambang diudara, rambutnya yang berwarna putih tergerai dan matanya yang berwana hijau berkilau. Aku tak memusingkan bagaimana suasana hatinya yang pasti dipenuhi dengan kebahagiaan. Aku menjentikkan jariku sambil berkata padanya, “lakukan saja seperti yang aku minta barusan dan kau bisa bebas pergi kemana saja. Ayo!”

Namun Hu’yi diam untuk beberapa saat. “Sekali seseorang masuk ke dalam pagoda seribu-gembok gunung Liubo, maka dia tidak akan bisa keluar lagi.”

“Tidak bisa keluar?” aku melihatnya dengan tidak yakin. “Aku belum lama tinggal di dunia manusia, namun paling tidak aku tau bahwa kita tidak bisa memaksa seseorang untuk menjual dirinya. Hanya boleh masuk tapi tak  boleh keluar sungguh hal yang tidak diperbolehkan, buruk sekali. Tidakkah menurutmu pendeta-pendeta gunung Liubo keterlaluan?”

“Memang kenapa kalau hal ini konyol?” di dunia ini, yang paling kuatlah yang menentukan.
“Aku suka kalimat ini.” Aku tertawa. “Baiklah, kita hancurkan saja pagoda ini, bolehkah?”
Dia memandangku kaget.

Aku menyeringai dari ujung telinga kiri sampai ke kanan: “Tadi kan kau bilang yang paling kuatlah yang menentukan?”

Jauh di masa yang akan datang, Yanwang sangat bersemangat ketika bicara tentang hal ini.  “Kau benar-benar punya watak yang keras, iya kan? Sekali kau bilang akan menghancurkan danau sihir dan pagoda seribu-gembok maka kau segera mewujudkannya begitu saja, sampa membuat danau dipenuhi dengan kegelapan sama dengan sungai Wangchuan. Apakah kau tau berapa banyak hukuman yang Tuan Moxi tanggung untukmu? Karena ini, kehidupannya yang akan datang semakin sulit dilalui.”

Namun ketika itu aku tidak tau konsekuensi perbuatanku dimasa depan. Dengan mengandalkan kekuatanku, aku membuat kerusakan diseluruh danau.

Sekeliling gunung Liubo bergoncang malam itu, murid-murid gunung Liubo terbangun dari tidurnya. Dan kemudian ... anak-anak gunung Liubo dipukuli dampai menangis sepanjang malam.
Tangisan hilang dan timbul tak berkesudahan.

Di suatu tempat tersembunyi, ketika Hu’yi menjalankan misinya, aku tertawa terbahak-bahak sambil berusaha menutupi mulutku. Ketika kami menemukan Chang Wu, aku menepuk bahu kiri Hu’yi: ‘tiga bulan! Tiga!”

Hu’yi mengerti maksudku, menerjang Chang Wu, menurunkan celananya didepan semua orang dan memberikannya dua pukulan di bokong. Bokong Chang wu bengkak cukup parah. Anak yang biasanya kejam ini sekarang ketakutan setengah mati. Hanya ketika sakitnya terasa barulah air matanya berlinang bersamaan dengan ratapannya yang melengking.

Aku menonton dengan senang hati namun sedikit merasa bersalah pada akhirnya. Aku menendang bokongnya yang sudah bengkak dua tendangan sebelum mengibaskan tanganku kepada Hu’yi agar dia melepaskan Chang Wu.

Hu’yi mengerucutkan bibirnya.

“Apa?”

“Kau baru saja membuat anak itu tidak bisa turun dari tempat tidur selama enam bulan.”

“Ooops!” Aku menutup mulutku dengan kaget. “Apakah aku menendang terlalu kuat?”

Dia menoleh kepadaku. “Menurutmu?’

Aku menggaruk kepalaku dan tertawa tak bisa berkata-kata lagi.

Ketika dia melihat satu anak yang belum dipukul merunduk dan menangis di salah satu pojok, Hu’yi berbalik dan manarik bajunya. Dengan cepat aku menahan Hu’yi. “Jangan dipukul ...” anak ini.

Aku belum menyelesaikan kalimatku ketika sebuah guntur terlihat diangkasa. Hu’yi dan aku terlonjak, sama-sama memandang ke langit.

Pendar di pergelangan tanganku segera memberitau siapa yang datang.

Sudah jelas Moxi, atau yang agung Zonghua sebagaimana ia disebut dalam kehidupan kali ini.

Dia meringis melihat ‘anak-anak’ terkapar disekeliling halaman sambil menangis memegangi bokong mereka. Matanya menerawang melihatku dan berakhir ke Hu’yi. Rambut ditengkukku meremang kala kulihat mereka saling bertatap mata.

Dibelakang Moxi segera menyusul bayangan-bayangan para tetua gunung Liubo.

Wajah-wajah mereka nampak sangat tegang melihat kondisi murid-murid mereka yang menangis dimana-mana. Ketika pandangan mereka tiba kepadaku dan Hu’yi, wajah mereka semakin tegang. Situasi berubah semakin kisruh.

Suara-suara mereka membuatku senewen. Aku berkata kepada Hu’yi, “Aku akan memenuhi janjiku. Karena kau telah membantuku membalaskan dendamku, aku akan membantumu untuk melarikan diri. Sudah jelas bagiku bahwa kau tidak suka berada disini. Pergilah, kemana pun kau suka.”
Belum lagi Hu’yi memberikan respon, seorang pendeta tua dengan jenggot berwarna putih berdiri sambil mengacungkan telunjuknya sambil menyumpah: “Kau pikir gunung Liubo tempat kau bisa datang dan pergi sesukamu?! Iblis Hu’yi! Yang Agung sudah mengampuni kesalahanmu dan masih mempertimbangkan ikatan di masa lalu, tapi mengapa kau melakukan hal yang menghina gunung Liubo seperti ini?”

Aku menyimpulkan beberapa hal dari perkataan pendeta tua itu. Pertama, Hu’yi kenal dengan Moxi di masa lalu; kedua, Hu’yi mungkin dikurung di pagoda oleh Moxi; ketiga ... meskipun sangat membenci iblis, Moxi tidak membunuh Hu’yi. Pasti ada kisah yang tidak aku tahu dibalik semua ini!
Aku menyilangkan tanganku didepan dada dan berdiri memerhatikan disatu sisi, melihat semua kejadian yang berlangsung. Sayangnya tidak ada tempat duduk, tidak ada makanan atau makanan ringan. Mengurangi rasa senangku.

Hu’yi mencemooh: “Aku tak pernah minta kepada Yang Agung untuk membiarkanku hidup selama akau dikurung seumur hidup. Aku lebih suka mati dan hidup kembali agar aku bisa bebas dari kehidupan yang seperti neraka ini.”

Dengarlah, dengar.

“Iblis yang tidak tau berterimakasih!” selesai  berteriak, pendeta tua itu menarik pedangnya dari sarung dan menerjang Hu’yi.

Aku-lah yang telah membebaskan Hu’yi, namun Hu’yi belum juga bisa pergi. Ini sama saja seperti menjanjikan sesuatu kepada pelanggan tapi barangnya tidak ada. Kalau barangnya tidak ada, maka perjanjiannya batal. Aku adalah orang yang berintegritas, tentu saja aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi.

Aku menarik Hu’yi ke belakangku dan balik menerjang ke arah pendeta tua. Aku menyadari kalau Hu’yi terus berada didekatku lama-lama dia akan hanya menghambat gerakanku. Aku harus membiarkannya pergi secepat mungkin. Merenggut kerah baju Hu’yi, aku melemparkannya ke udara sambil berkata: “Pergilah!”

Kekuatan kegelapan yang aku kerahkan menghantam punggungnya dan dengan segera membuat tubuhnya melayang jauh; kemana aku juga tak tau ...

Beberapa pendeta yang kelihatannya berilmu tinggi berusaha mengejarnya. Aku memusatkan seluruh kekuatanku dan berteriak. Gelombang kegelapan menyebar, memaksa mereka untuk menutupi kepala mereka sambil meringis kesakitan. “Kalau kau ingin menangkapnya, pilih hari lain,” Aku berkata, “Aku sudah membuat perjanjian dengannya hari ini dan bertekad untuk memegang kata-kataku. Aku harus menjamin keselamatannya untuk menjaga nama baikku.”

“Pelacur, hentikan bualanmu!”

Aku nyengir lebar memandang si pendeta tua. “Apakah aku membual atau tidak, mengapa kau tidak membuktikannya sendiri ?!”

Sikapku semakin membuat si tua bangka itu semakin marah sampai seolah-olah telinganya mengeluarkan asap, sambil menghunus pedangnya dia datang menerjang. Sementara, di kejauhan terdengar suara-suara panik: “Guru! Guru!” seorang murid Liubo berlari secepat angin.
“Yang Agung! Guur! Pagoda seribu-gembol ... Pagoda seribu-gembok sudah runtuh!”
Alisku naik sambil menonton wajah-wajah mereka dengan aneka ekspresi. Setelah cukup lama, mata-mata mereka yang mengandung kengerian memandangku.


Aku mengedipkan mata beberapa kali, mengangkat pundakku dan berkata, “Aku bersumpah aku tidak mengira kalau pagoda itu agak ringkih. Yang aku lakukan cuma memberikan sedikit colekan...” Tatapan mata mereka membuatku sedikit kurang nyaman hingga aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan tertawa canggung: “Haha, pagoda itu akhirnya jadi onggokan sampah dibawah danau, ahaha ...”

_______________________________________________________________________
Sharing mind ....
Beberapa hari ini cuaca luar biasa fanaaaass, hot ... hot ..... , dimana-mana nyari kipas angin, ac bagi yang mampu ^_^
Seharian pakai jilbab, kepala juga gatel, lepek, shampoo cepet abis karena keramas saban malem, hlaa belum kering udah ketiduran, pagi-pagi bangun masih lembab, ih tape dweeeeehhhh
Yah, disyukuri aja, karena cuaca panas jd rajin keramas, baik untuk hidup sehat. Yang penting hati tetep adem, terserah mau ngademinnya dengan cara apa juga yang penting masih di jalan yang benar ahaha ...
Quote of the day ‘The more you sweat in practice. The less you bleed in battle’ yang artinya jeng jeng jeng ..... latihan banyak-banyak biar penuh keringat juga (apalagi di cuaca panas begini ...lol...), kalau dah sering latihan ntar klo perang beneran udah jago, ga gampang kalah wkwkwkwk

____________________________________________________________________________









Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 10

Chapter 10: Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini Aku tak melihat sosok Zhonghua lagi sejak hari itu. Kelihatannya dia benar-be...